Thursday, June 30, 2005

UI must have a School of Education

Indonesia is not a learning country. We refuse to produce more qualified teachers. We changed the Schools of Education into Universities. Why? just the mere fact that school of education has no selling points. No one wants to join IKIP. I assume IKIP has given up its excellence and chosen to be a small fish in a big pond. Therefore, it is a right time and right thing for the University of Indonesia (UI) to build a School of Education.

Bandung Institute of Technology has passed this chance by building School of Business and Management. No big University is trying to pick up the ball and keeping it playing on the field.

I uttered this crazy idea, a few months ago in Dikmenjur mailing list (dikmenjur@yahoogroups.com). As one of the lecturers in UI, I feel that building a School of Education is part of setting higher standard to education in UI.

I feel injected with more power by hearing my good friend, Totok A. Soefijanto, is returning back to Indonesia forgood. Maybe this is also a right time and right thing to do for me to relive this crazy idea.

If you are with me, please comment and share me your ideas. Together we can make it happen.

Brgds,
Jaha

Wednesday, June 01, 2005

Science died in Planetarium Jakarta

Eversince I arrived in Indonesia, I try to introduce my daughter to many occupations. She became very interested in those occupations and made them her ideals. Once she wanted to a computer programmer, an animal tamer, and the last one was an artist. She is particularly keen in drawing. I took her to places where she could she what these people with those occupation did.

These days, my daughter dreams to be an astronauts, after we played as spaceship crews.

Today i visited Planetarium in Taman Ismail Marzuki. My plan was to prepare my beloved daughter's visit to the site. I was very excited when I entered the hall. I remember when I was in my elementary years visiting this place with my school mates. I wanted to be like Captain James Tiberius Kirk from Star Trek - The Original Series. I don't recall any disappointment. It was a mission completed satisfactorily.

I don't like being sarcastic but my impression of my today's visit was just like being sucked into a time machine. When I entered the hall, everything I had seen when I was a child was still there. Many of them are antiques and broken. Has science died after I left the building years ago?

I keep wondering....

May I be able to plan as funtastic trip as mine was for my daughter.

May the force be with us.
Live long and prosper.

Jahatnya Teknologi Terhadap Anak

This one was published in Kompas (Kompas is the biggest newspaper in Indonesia - http://www.kompas.com) print edition on May 30th, 2005:

English Title: How cruel technology can be to your children.
Summary: Though the title is accusing technology of being negative, the content of the article is trying bring parents' awareness in letting their children adopting new technology.

Jahatnya Teknologi Terhadap Anak

Foto dan video dari telepon genggam yang beredar di internet meningkat jumlahnya. Hal ini menjadi wajar seiring telepon genggam berkamera dan video telah menyandang predikat “HP sejuta umat.” Sebagian besar dari “sejuta umat” itu adalah kalangan generasi muda – anak hingga berumur 18 tahun – yang merupakan pengadopsi awal (early adopter) dari berbagai produk teknologi. Sesuai dengan judul, tentunya materi visual yang beredar tersebut bukanlah materi yang pantas dilihat orang kebanyakan. Hal ini membuat anak menjadi tersangka utama sekaligus korban dari kasus-kasus ini.

Pelaku atau pun korban dalam kasus tersebut di atas, sesungguhnya hanyalah korban dari sisi negatif teknologi. Semua ini terjadi, secara tidak langsung, atas ijin orang tua yang membebaskan pengadopsian teknologi tanpa pendampingan. Banyak bukti sisi negatif teknologi yang tidak disadari beredar dihadapan orang tua. Sebuah bukti sempat direkam dalam kamera video di sebuah sekolah dasar negeri percontohan di Bogor. Pada hari Jum’at siang, sambil menunggu waktu sholat Jum’at bersama, sejumlah murid asyik bermain perang-perangan menggunakan crossbow (panah yang menggunakan pelatuk seperti pistol) yang terbuat dari kayu yang dijual di pagar sekolahan. Pada saat yang sama, di sekeliling murid-murid tersebut, guru-guru dan orang tua murid yang sedang menunggu terlihat tidak menyadari kejadian ini. Tidak ada satu pun orang dewasa yang memperhatikan bagaimana anak-anak itu berinteraksi dengan kawan-kawannya dan crossbow-nya. Murid-murid tersebut berkonspirasi, berstrategi dan menghayati permainan dengan menampilkan mimik muka para prajurit perang yang siap menghabisi lawan. Tidak ada suatu hal pun yang meng-orkestrasi semua gaya-gaya anak-anak itu kecuali alam bawah sadarnya yang sudah dibentuk oleh televisi. Bukti visual ini pun menangkap sebuah interaksi yang sangat mirip dengan acara-acara perburuan dan penyergapan terhadap para penjahat yang acap kali disiarkan di televisi.

Memang sebagian besar keluarga di Indonesia masih menempatkan televisi di ruang keluarga. Celakalah para orang tua yang menempatkan televisi di kamar anak-anaknya karena mereka telah meletakkan racun pikiran tepat di jantung sasaran. Salah satu dampak negatif televisi, adalah melatih anak untuk berpikir pendek dan bertahan berkonsentrasi dalam waktu yang singkat (short span of attention). Saat ini banyak kita jumpai anak-anak yang dicap malas belajar. Mungkin mereka bukan malas belajar. Otak mereka sudah tidak mampu menyerap bahan pelajaran dalam jangka waktu yang lebih lama dari jarak di antara dua spot iklan akibat pengkondisian oleh acara televisi.

Bila televisi begitu dahsyatnya, bagaimana dengan komputer? Saat ini jumlah penelitian bidang teknologi pendidikan yang menyatakan bahwa komputer memiliki dampak negatif terhadap pendidikan dan perkembangan anak sama banyaknya . Menurut Paul C. Saettler dari California State University, Sacramento, hasil tersebut muncul karena banyak penelitian yang membandingkan pendidikan yang konvensional dan yang berbantuan teknologi tidak pernah berhasil melakukan perbandingan setara karena banyaknya aspek yang tidak teramati. Satu hal yang pasti, interaksi anak dan komputer yang bersifat satu (orang) menghadap satu (mesin) mengakibatkan anak menjadi tidak cerdas secara sosial.

Seperti halnya televisi, meletakkan komputer ber-CDROM di dalam kamar anak sama bahayanya. Hal ini, di samping memungkin anak terlalu sibuk bermain game, komputer ber-CDROM memungkin masuknya VCD porno ke kamar anak tanpa sepengetahuan orang tua. Untuk keluarga yang memiliki lebih dari satu komputer di rumah, sangat disarankan untuk membangun jaringan komputer rumah di mana, hanya komputer pusat yang terletak di ruang publik yang memiliki CDROM agar pengaksesan CDROM ini dari kamar anak-anak dapat terawasi. Akhir-akhir ini dampaknya VCD porno bajakan sungguh meresahkan. Hal ini diakibatkan begitu mudahnya mendapatkan VCD bajakan dan memainkannya pada sebuah VCD player sehinngga anak balita pun mampu mengoperasikan untuk menyaksikan Teletubbies kesayangannya.

Begitu juga dengan internet, akses internet harus diletakan di ruang publik untuk mencegah anak menjadi korban predator pedofilia di internet atau perbuatan melanggar hukum yang tidak disadarinya, seperti berbagi file secara ilegal (illegal file sharing). Kita tidak bisa mencegah anak berinteraksi dengan internet karena di dalamnya banyak pula hal yang bermanfaat. Hasil penelitian terakhir pun menyatakan tak ada satu piranti lunak pun yang mampu menggantikan tugas orang tua mengawasi kegiatan anaknya di internet.

Tulisan ini tidak untuk mencegah atau menakut-nakuti orang tua agar membatasi interaksi anaknya dengan teknologi. Tulisan ini bermaksud mengajak orang tua untuk berperan aktif dalam melindungi anaknya dari sisi negatif teknologi. Perlindungan yang diberikan bukan dengan membuat anak menjadi sterile dari teknologi tetapi immune yaitu dengan memberikan pendampingan terhadap anak dalam berinteraksi dengan teknologi. Berikan anak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan dan tidak berlebihan.

Seyogyanya orang tua tidak bersembunyi di balik ketidakmampuan meng-adopsi teknologi. Orang tua telah lebih banyak memakan asam garam hidup ini. Teknologi boleh berbeda, tetapi cara manusia menggunakannya masih sama. Dahulu, isyu mengenai seseorang berhubungan sex di luar nikah beredar dari mulut ke mulut. Biasanya beredar saat pasangan tersebut putus dan diedarkan oleh pihak yang sakit hati. Kini gosip itu beredar dalam rekaman video atau pun foto. Lebih parah lagi, internet memepercepat peredarannya. Sekali beredar di Internet, akan susah menghapusnya. Pencegahannya sungguh merupakan hal yang tidak berhubungan dengan teknologi sama sekali, yaitu pendampingan orang tua terhadap anak dalam interaksi anak dengan teknologi dan proses internalisasi nilai-nilai positif kepada anak-anak oleh orang tua.

Memang anak lebih cepat beradaptasi dengan teknologi, tetapi orang tua pun memiliki nilai lebih karena orang tua telah lebih dulu mengenyam berbagai pengalaman hidup. Kombinasi kedua hal ini akan menjamin proses mengadopsi teknologi dalam kehidupan keluarga menjadi lebih positif. Orang tua dan anak dapat meningkatkan kualitas waktu bersama dengan cara ini. Dengan demikian, orang tua akan mampu mencegah teknologi dan kejahatannya memisahkan keluarga yang dicintainya.

Jaha Nababan, Penerima Fulbright lulusan Boston University School of Education jurusan Educational Media and Technology, adalah penggiat teknologi pendidikan.