Ketika ku baca rapot-mu nak
Bukan maksud ayahmu untuk tidak bersyukur menulis ini.
Tetapi ini mungkin cerminan pikiran banyak ayah dan bunda yang lain ketika
melihat nilai-nilai anak tercintanya dalam sebuah laporan kenaikan kelas.
Ini juga refleksi perasaan kakekmu ketika melihat rapot ayah
dulu. Perasaan kakekmu itu begitu dalam ayah rasakan kini karena ayah bekerja
banting tulang seperti halnya kakekmu dulu.
Setiap orang tua
bekerja keras tentunya agar anaknya hidup lebih baik dari dirinya. Ayah pernah
berbicara dengan seorang maestro seni yang nampaknya sudah kaya lahir bathin
dan terkenal. Ketika ditanya harapannya terhadap anaknya di masa depan, ia
menjawab “Aku ingin anakku lebih baik
dariku. Aku hanya tahu ini sehingga aku mencoba mempermudah hidupnya jika ia
mau meneruskan pekerjaanku ini. Tetapi bila boleh memilih, aku ingin anakku
hidup lebih dariku dengan cara yang lain.” Ketika kutanya alasannya, ia pun
menjawab “Untuk seperti ini sekujur
tubuhku telah mencatat luka-lukanya, lidahku sudah kenyang pahitnya mendaki
jalan ini. Aku tahu bahwa sedikit yang tersisa di puncak seperti aku ini.”
Kami ini hanya manusia, suatu waktu kami punya musuh di
tempat kerja yang membawa kami ayahmu kepada perang yang namanya office politics. Tempat kerja menjadi
neraka. Mungkin hanya sedikit di antara ayah-ayah yang punya atasan yang baik
hatinya. Kebanyakan atasan tidak manusiawi. Mereka ingin memisahkan kami ayahmu
denganmu melalui kerja lembur. Kadang kamilah atasan yang tidak manusiawi itu. Tapi
kami para ayah mengerjakannya demi kamu menjadi lebih baik daripada kami.
Bila kami tidak kuat akan tekanan, beberapa di antara kami
memilih keluar meski harus menganggur. Atau beberapa ayah yang berwirausaha pun
suatu ketika jatuh bangkrut dan juga akhirnya menganggur. Tetapi kami para
ayah, tetap keluar rumah mencari sesuatu untuk membuatmu lebih baik.
Bayangkan nak, berapa banyak ayah yang terjerat kasus
korupsi dan hukum karena ingin anaknya hidup lebih baik tidak jadi koruptor
atau penjahat. Atau berapa banyak ayah yang memilih tetap jujur, miskin dan
menderita menyaksikan dirinya tidak mampu mewujudkan impian buah hatinya
menjadi lebih baik. Kami semua hanya tahu ini untuk dikerjakan.
Engkau pun tidak jauh dari pepatah “Seperti buah yang jatuh
dari pohonnya”. Banyak hal yang tidak pernah ayah ajarkan tetapi kau lakukan
seperti layaknya ayah dulu melakukannya. Seperti bagaimana dirimu menghabiskan
buku catatanmu untuk menggambar bukan untuk mencatat. Mungkin suatu hari nanti
ayah akan dipanggil gurumu karena kamu membolos nonton konser group favoritmu.
Yaa, ayahmu dulu pernah begitu.
Engkau pun suatu saat nanti akan merasakan yang kami para
ayah rasakan saat ini. Bukan karma, tetapi inilah siklus hidup. Bagai roda ada
kalanya di atas dan ada kalanya di bawah. Beberapa teman sekolah ayah yang
nampaknya akan kaya tujuh turunan kini hidupnya tidak lebih baik dari ayahmu
ini. Tetapi ayah bukan ingin kamu jadi kaya raya dan terkenal. Kami para ayah
hanya ingin kamu lebih baik dari pada kami sebagai orang tua, sebagai warga
masyarakat, rekan kerja atau usaha dan sebagai umat beragama nantinya. Sehingga
pesan kami jangan tutup kisahmu dengan rapotmu kini, tetapi selalu bukalah
kisahmu dengan perjuangan menjadi lebih baik di jalan kebaikan apa pun yang kau
pilih. Selamat atas prestasimu nak. Apa pun isi rapotmu.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home