Sunday, December 13, 2009

Mari menghapus Ujian Nasional untuk peserta didik

Dad, ajarin bikin puisi buat PR dong. Setengah kaget, saya sebagai seorang ayah yang kebetulan juga berprofesi pendidik, mencoba menggali lebih lanjut mengenai tugas putri saya yang masih duduk di kelas 4 SD. Ia diminta membuat satu bait puisi mengenai hutan. Tentunya komentar saya sebagai pengemar dan penulis puisi adalah "kok bikin puisi dibatasi?!" Ternyata pula tugas ini bagian dari sejumlah soal dalam buku latihan dengan tipe soal cloze test atau isian bebas.

Tanpa mau menambah kebingungan putri saya dan keheranan saya pribadi, saya mulai dengan meminta ia menceritakan apa yang ia rasakan - bukan yang ia ketahui - tentang hutan. Cerita tentang rasa ini pun dapat dikembangkan menjadi satu artikel kegagalan sekolah dalam mendidik anak serta ketidakmampuan Ujian Nasional mengukurnya. Tapi untuk mempersingkat cerita, anak saya tidak mampu menceritakan perasaannya tentang hutan meski mampu menceritakan banyak hal yang ia ketahui mengenai hutan. Pun saya meminta ia menulis 4 baris dari hal-hal yang ia ceritakan sebelumnya. Ia pun protes, "kan cuman diminta menulis puisi satu bait kok 4 baris?!?", tanyanya setengah bingung.

Saya yakin fakultas pendidikan di mana pun akan mengajarkan para guru membuat lesson plan. Memang banyak sekali perspektif pembuatan lesson plan, tetapi semuanya berbicara tentang penjenjangan dalam desain instruksi. Dari cerita di atas jelas bahwa anak saya meski telah berkali disuruh membuat puisi oleh sekolahnya, tetapi belum pernah dijelaskan apa itu puisi dan apa yang membedakannya dengan pantun, gurindam atau lainnya. Bukanlah berarti bahwa sejarah sastra Indonesia selengkap-lengkapnya harus diberikan terlebih dahulu sebagai pra-syarat untuk dapat membuat sebait puisi bagi anak kelas 4 SD. Tetapi kejelasan perintah agar anak mampu membuat puisi seperti yang akan diukur oleh sang guru atau pembuat buku tidak pernah diberikan apalagi perintah pembuatan ini merupakan bagian dari kumpulan soal-soal bersifat pertanyaan terbuka. Hingga - tanpa bermaksud berprasangka buruk - dapat disimpulkan bahwa, pertama, guru tidak membuat lesson plan dengan baik hingga ia sendiri mencobakan soal-soal yang akan diajukan kepada murid-muridnya. Kedua, soal-soal yang diberikan adalah soal asal comot dari sumber-sumber yang tidak terjaga kualitasnya yaitu buku yang dipaksa beli oleh sekolah. Dan yang terakhir, pemberian soal ini hanya merupakan penunaian kewajiban guru bukan pada upaya mengukur pencapaian penyampaian materi oleh guru. Benar, anda tidak salah baca soal-soal itu untuk mengukur pencapaian guru dalam menyampaikan bukan pencapaian murid dalam menerima.

Di sinilah paradigm shift yang perlu dipahami dalam menghapuskan Ujian Nasional. Ujian Nasional selama ini dimaksudkan untuk mengukur peserta didik saja. Sementara guru, seperti yang selalu dikeluhkan oleh orang tua, hampir tidak pernah menerapkan metode-metode pengajaran secara berkualitas apa pun mazhab pendidikannya yang dianut sekolah.

Penggunaan paradigma lama memberikan hasil yang beragam. Mulai dari yang tampaknya tidak ada hubungan sama sekali hingga yang jelas di depan mata. Salah satu contoh yang tampaknya tidak ada hubungan adalah sebagai berikut. Saat saya sekolah dulu, semua orang tua berebut memasukkan anaknya ke sekolah negeri, tetapi saat ini orang tua (teman-teman saya sekolah dulu, setidaknya) berebut memasukkan anaknya ke sekolah swasta. Dahulu ada sekolah2 swasta di tempat saya menghabiskan masa kecil yang banyak orang tua malu memasukkan anaknya ke sekolah itu karena memang tempatnya anak-anak buangan dan bermasalah. Tetapi kini beberapa sekolah itu menjadi sekolah mentereng. Padahal tidak ada perubahaan signifikan antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri saat ini pun mampu memiliki fasilitas guru dan infrastruktur yang tidak kalah dengan sekolah swasta. Menurut hemat saya banyak orang tua yang kecewa dengan cara mereka diukur dahulu sewaktu mereka sekolah di sekolah negeri. Mereka pun tergiur dengan cara pengukuran tambahan bagi anak mereka yang ditawarkan sekolah swasta meski seringkali tidak dipahami oleh para orang tua. Padahal kesemuanya hanya mengukur peserta didik. Walhasil, salah satu yang tampak di depan mata adalah keluhan banyak orang tua murid saat anak mengerjakan PR dan mengalami kebingungan sehingga harus bertanya kepada orang tua.

Di negeri orang tempat saya dulu menuntut ilmu, peserta didik memang mengalami ujian regional, tetapi hal itu bukan untuk menentukan kelulusan para peserta didik. Hal itu digunakan untuk menentukan kualitas sekolah. Bila sekolah mampu melampaui batas-batas yang telah ditentukan maka ia akan dianugerahi kesempatan lebih besar mengembangkan sekolahnya - swasta atau pun negeri. Tetapi bila sekolah tidak mampu, maka sekolah akan diberi waktu untuk memperbaiki diri dengan pendampingan dari pemerintah atau bahkan ditutup selamanya bila tidak juga mampu memperbaiki diri meski telah didampingi.

Di sinilah sebenarnya common ground untuk menghapuskan Ujian Nasional, buat mereka yang pro-Ujian Nasional, adalah alat ukur kualitas pendidikan bangsa. Sementara itu yang anti Ujian Nasional merasa bahwa hal ini hanya proyek buang-buang duit saja karena tidak mampu memotret kualitas pendidikan bangsa yang sebenarnya.

Terlepas dari cara mengukur, memang untuk memotret kualitas pendidikan bangsa ini kita perlu alat ukur berbentuk ujian. Tetapi alat ukur ini sebaiknya ditujukan untuk mengukur mesin pendidikan dan komponen-komponennya yaitu sekolah dan para guru. Hal ini akan menunjukkan bila produk yang dikeluarkan mesin berkualitas rendah, maka pada bagian mana dari mesin yang rusak dan perlu diperbaiki. Bahkan pada skala yang lebih besar hal ini justru mengukur kinerja Departemen Pendidikan Nasional (DIKNAS) melalui pencapaian sekolah-sekolah akibat pendampingan dan pemberian kesempatan berkembang oleh DIKNAS. Sekali lagi anda tidak salah baca, memang bukan mengukur kinerja sekolah-sekolah dalam mencapai ukuran-ukuran yang ditetapkan DIKNAS.

Jadi marilah kita melaksanakan keputusan Mahkamah Agung untuk menghapuskan Ujian Nasional bagi peserta didik. DIKNAS tidak perlu khawatir dan membatalkan Ujian Nasional yang sudah terencana untuk tahun ini, hanya saja DIKNAS perlu segera membangun pembaca alat ukur yang berbeda, yaitu untuk mengukur pencapaian ujian nasional ini sebagai gambaran pencapaian DIKNAS. Masalahnya, maukah DIKNAS mengukur dirinya sendiri melalui Ujian Nasional. Mari kita doakan. Amien.