Sunday, May 15, 2005

Coming Soon! My New Educational Video - Chaperoning Hearts to Sing Again

This video is about National Commission for Child Protection and its program in Chaperoning Tsunami Victim Children in Aceh.

Content - English and Indonesian

Note: I will soon post it on the web when i get an access to high bandwidth.

My New Educational Video - Membawa Teknologi ke Sekolah (Bringing Technology to School)

Right Click on the link above and "save target as"

To play, you need to download DivX player from www.divx.com

Content in Bahasa Indonesia.

Let technology restructures school book publishing industry

Let technology restructures school book publishing industry

This article was written during my first week after returning to Indonesia. I was pondering on some recent educational policies in Indonesia.

No one wants to keep the bad apples. The school book publishing industry has been accused of manipulating school book policy at school by luring teachers with incentives. The spirit of the five-year-book plan (the plan) is to prevent us from keeping the bad apples in our education system.

In recent mass media campaign by Indonesian book publisher association, many observers found that the plan poses more disadvantages than advantages. The plan might result in five full years of collutive contract according to one Jakarta based radio talk show. Didn't we say we wanted to keep the bad apples away?

The plan requires paradigm shift to be applicable. The one like what Unidah Roshidi of State University of Jakarta (Universitas Negeri Jakarta - UNJ) mentioned in the same radio talk show. She said that books are not the only knowledge sources in the classroom. It is true in two folds. The first reason is because books utilization in the classroom is still ineffective and inefficient due to lack of lesson plan utilization. The students are learning from its surroundings, there would be plenty of things that can be brought into classroom as alternative to book. By improving teacher's skill in using lesson plan, teacher can smoothly integrate alternative material into classroom. Thus, at the end, school can lower its dependability to book publishers. A simple business point of view, should the buyer lower its dependability to its supplier, the buyer will gain more bargaining power towards its supplier, and that is the second fold.

Though school cannot completely omit its dependability to books, a lot of stake holders can help improving school bargaining power. School books must be made open source like Linux. There are a lot of Good Samaritan teachers who are willing to write high quality school books and make it available for free. Students of Boston University School of Education Master Degree Program are asked to write school books that correspond to Massachusetts Curriculum Frameworks and their subjects. They keep their works as portfolio. We can do better than that. We can make it more into group effort. The teachers or prospective teachers from Educational Universities can work in writing the school books. There are also many Good Samaritan Book Designers who are willing to design it and convert the raw material into an electronic book format or PDF format ready for printing and copying.

For distribution, Indonesian Internet Service Provider Association (APJII - Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia) must be more than willing to host a web for this purpose where anyone can download these school books. Ministry of National Education can distribute this material in CDROM so that these soft copies of school books can also reach schools in remote area. This is plan is in accordance to one-school-one-computer program that was launched a few years back.

Student can copy the material using whatever output affordable to them. Rich students can print it in high resolution color printer, while less fortunate students can make a copy from the cheapest copy quality. With approximately six thousand rupiahs for one hundred and twenty pages per copy of these electronic book compare to seventeen thousand rupiahs per book, the less fortunate students can still get the same content.

Every year, groups of end users - teachers and students - can give input for upgrade and a new group of writers and book designers can work voluntarily to modify it. Within five years, these free publications can be reviewed for its suitability towards changes due to the most current demand in education. This is the competitive edge that cannot be match by the school book publisher, that these electronic books are peer reviewed.

This group's effort can empower school and increase school's bargaining power towards books publishers. This effort has many advantages. It can cater whatever economies of scale then it will drive the price down. Even if this effort is completely funded by government, the capital required is still low. Adding this variable to school book publishing industry will increase industrial rivalry. Especially since this electronic book's distribution saves up a lot of warehousing and supply chain cost, all in all, these surely will increase school's bargaining power towards school book publishing industry. At the end of the day, government can provide supporting national policy as additional to the coming Five-year-book plan. This policy shall not kill the book publishing industry; it will drive them to be more efficient and forget about luring teachers with incentives.

What we are facing is a tricky situation. It is sure that the Five-year-book plan has its advantages and disadvantages. However, we must start take that first step into a thousand mile journey. This first step and many more steps in the future will keep the bad apples away.



Catatan Pinggir Dunia Pendidikan Indonesia

Due to request by some of my Indonesian Friends, I am going to start posting my articles in Bahasa Indonesia too.

Catatan Pinggir Dunia Pendidikan Indonesia

(Some Side Notes on Indonesian Education System) - this article was written on Indonesian National Education Day.

Orang miskin dilarang sekolah bersama orang kaya. Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) seolah tanggap atas kritik Eko Prasetyo dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Eko Prasetyo membuka bukunya dengan menceritakan sulitnya mendapatkan sekolah murah bagi buah hatinya. Masih di dalam bab yang sama Eko ternyata juga menyebutkan adanya sekolah murah untuk anak tukang pasir tetangganya. Permasalahannya, apakah warga kelas menengah yang diwakili Eko mau menempatkan anaknya di sekolah beriuran tujuh ribu lima ratus rupiah sebulan.

Sekolah memang telah terkotak-kotak berdasarkan kemampuan ekonomi dari orang tua. Kurang bijak bila menjawab permasalahan ketersediaan bangku sekolah untuk seluruh lapisan masyarakat dengan pengkastaan sekolah. Seharusnya peningkatan kualitas pendidikan di sekolah milik pemerintah dan penyediaan akses pembiayaannya bagi seluruh lapisan masyarakat diutamakan. Sehingga Gendhuk atau Butet bisa menuntut ilmu hingga ke negeri Cina bila mereka memiliki potensi meski orang tua mereka tidak mampu.

Manusia sudah lahir berbeda. Paska kejatuhan Soeharto, bangsa ini banyak didera permasalahan prasangka etnis. Kamanto Sunarto dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa pendidikan multikultural kurang disukai oleh penguasa karena dianggap sebagai ancaman bagi kestabilan politik, ekonomi dan negara. Keputusan pemerintah untuk memisahkan si kaya dan si miskin di sekolahan merupakan kebijakan kontra produktif dengan Bhineka Tunggal Ika. Ahmad Bukhori Muslim, penerima beasiswa Fulbright di Boston University, mengungkapkan pentingnya mengajarkan perbedaan kepada anak-anak. Pendidikan ini, Bukhori menekankan, sebaiknya dimulai dari rumah. Upaya ini perlu didukung dengan adanya kurikulum yang bermuatan multikultural di sekolah untuk memperkuat dampaknya. Tujuan pendidikan multikultural, menurut Kamanto, diantaranya bertujuan agar siswa mampu berfungsi dalam berbagai latar belakang budaya. Kamanto juga menyatakan bahwa menerapkan pendidikan multikultural di sekolah membutuhkan perombakan total sistem pendidikan. Hal ini merupakan salah satu catatan permasalahan pendidikan di Indonesia.

Catatan lain adalah upaya pemerintah untuk mengurangi beban orang tua dalam urusan membeli buku pelajaran dengan kebijakan Buku Lima Tahun. Kebijakan ini perlu ditambal karena kebijakan ini, di samping membatasi sumber pengetahuan bagi murid, menyisakan ruang buat kolusi yang lebih permanen selama lima tahun. Membuat buku menjadi opensource akan mampu menambal kebolongannya. Pemerintah perlu memulai format awal buku opensource yang dibangun oleh para relawan pendidikan. Buku ini dapat dimodifikasi oleh guru sekolah dan atau relawan lokal agar isinya tetap dinamis mengikuti perkembangan jaman. Buku opensource akan lebih murah bagi orang tua murid karena biaya foto kopi lebih rendah dari membeli buku.

Hasil awal dan pengembangan Buku opensource dapat disimpan di situs Diknas untuk diakses masyarakat pendidikan. Dengan demikian kebijakan Buku Lima Tahun yang didukung Buku Opensource akan memiliki nuansa teknologi pendidikan yang kurang diperhatikan di Indonesia. Upaya menerapkan teknologi di dunia pendidikan di Indonesia pun baru pada pemahaman sempit membawa perangkat keras dan koneksi internet ke sekolahan. Belum ada upaya untuk melatih sekolah mendisain kegiatan yang mengintegrasikan teknologi tersebut kedalam kegiatan belajar mengajar. Memahami bagaimana media dan teknologi berproduksi dikaitkan dengan kurikulum berbasis kompentesi adalah salah satu contoh pengintegrasianya. Akibatnya sekolah merasakan adanya laboratorium internet sebagai sumber pembiayaan dengan tingkat pengembalian investasi,berupa output pendidikan bukan finansial, yang rendah.

Penerapan teknologi informasi di sekolah mengulangi sejarah Televisi Pendidikan Indonesia yang gagal membawa teknologi televisi pendidikan ke ruang kelas. Kesalahan keduanya terletak pada, dan ini menjadi catatan berikutnya, kurangnya melibatkan guru pada perencanaan pemanfaatan teknologi ini di kelas. Akibatnya, seperti yang diungkapkan Larry Cuban dari Stanford University, adalah cercaan terhadap guru yang gagal memanfaatkan teknologi. Nasib guru-guru yang berdedikasi ini sangat malang karena tidak dilibatkan dalam perencanaan dan masih dicaci pula.

Saat Kamanto berbicara mengenai perombakan total, mungkin adanya bencana secara berturut-turut menandakan perlunya kita merombak total banyak hal dalam keseharian kita, dalam hal ini masalah pendidikan. Salah satunya adalah ukuran pencapaian sekolah. SDN Johar 16 Petang di Jakarta Pusat yang seratus persen diisi oleh para pengamen dan pedagang asongan cilik, tentunya tidak akan pernah berhasil apabila diukur dengan jumlah siswa yang diterima di SMP Negeri. “... membangkitkan motivasi untuk selalu datang ke sekolah saja susah,...” demikian ungkap kepala sekolahnya. Sekolah seperti SDN Johar 16 Petang akan menjadi bintang bila ukurannya adalah turunnya jumlah murid yang terlibat kriminal. Sebagai catatan, tentunya banyak sekolah dengan permasalahan yang berbeda-beda yang tidak dapat diukur dengan standar yang sama.

Seyogyanya, upaya perombakan total diwarnai dengan semangat memberdayakan sekolah dan bersifat evolusi daripada revolusi. Lain halnya pada daerah bencana yang memungkinkan perombakan total. Pada dasarnya daerah bencana memiliki kebutuhan pendidikan yang berbeda, kurikulum yang adaptif adalah salah satunya. Kurikulum yang adaptif setidaknya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap pertama adalah kurikulum yang membantu mengatasi trauma. Tahap kedua, kurikulum perlu diadaptasi agar siswa mampu membantu lingkungan mengatasi trauma. Tahap ketiga adalah kurikulum baru yang berfungsi penuh seperti kondisi normal.

Daerah bencana juga membutuhkan pembangunan pranata sekolah yang hancur. Dalam membangun kembali fasilitas sekolah, perlu diperhatikan isu-isu baru yang berkembang di dunia seperti isu mengenai “Rute Aman ke Sekolah” yang dicanangkan WHO pada April 2004 serta akses yang sama bagi murid cacat fisik dan perempuan.

Catatan terakhir, meski bukan akhir dari daftar panjang permasalahan pendidikan, adalah mengenai kesiapan sekolah menghadapi bencana. Sebagai perbandingan, dunia bisnis siap dengan prosedur Perencanaan Pemulihan Paska Bencana (P3B) agar aktifitasnya tak terputus. Diknas, dalam hal ini nampak tidak memiliki perencanaan penanganan pemulihan sekolah paska bencana. Memang kedatangan bencana tidak dapat diramalkan, tetapi dampaknya dapat diukur dan diramalkan, sehingga P3B dapat dibuat dan akan mempermudah pemulihan pendidikan di daerah bencana. P3B ini seyogya memasukkan aspek-aspek yang diuraikan di atas. Semoga tulisan ini menjadi pemicu langkah-langkah kita berikutnya.