Thursday, October 19, 2006

Sepotong Surat Kematian

It's been quite a long time since i last wrote my poem. The last time was probably during my flight back home forgood from Boston in Jan 2005. Gee...

The title is "A piece of Death Certificate - Sepotong Surat Kematian". I wrote this when I was holding and starring at my Dad's Death Certificate. I was daydreaming of the goodtimes i had with him and all those quality times we had. I often went very far from him (geographically) on assignments or study. I once prayed that I'd be by his side when he passed away. My prayer was granted, I was with him from his fainted, coma, and passing away.

Yes, the poem was made in good memory of my father, however I hope that this poem may inspire you to write everything. It is our life that what we are talking about.

Sepotong Surat Kematian


Kupandangi selembar, tidak… bukan selembar,
Hanya sepotong surat kematian.

Kupandangi terus hingga ia membaur dengan halimun khayalku,
Tak terbaca meski tertulis.
Tanpa arti tetap ia pun tertulis.

Hidup mulai dengan tertulis di atas selembar surat bernama Akte Lahir.
Konon kita menulis hidup kita sendiri
di antara dua buah surat tertulis tanda kehidupan.

Hidup ini pun konon tertulis dalam takdir baik dan takdir buruk Illahi.
Tetap kita menulisnya…. Konon,

Bila kita memang menulisnya…
Mungkin kita tidak tahu apa yang kita tuliskan
Mungkin pula tahu.
Mungkin…
Tetapi ianya berakhir tertulis di dalam sepotong surat kematian.
Tanpa arti tetap ia pun tertulis.

Bila kita memang menulisnya…
Mungkin ia tercatat
Mungkin ia dicatat… Konon, memang dicatat di atas sana.
Atau mungkin
Kita sendiri yang mencatatkan.

Mungkin…
Tetapi ianya berakhir tertulis di dalam sepotong surat kematian.
Tanpa arti tetap ia pun tertulis.

Tak ingin keakuanku berakhir dalam sepotong kertas tertulis tanpa arti.

Hey….
Sepotong surat kematian itu seolah membantahku.

Aku bukan sepotong kertas tertulis tanpa arti, katanya.
Padaku tertulis akhir manusia yang tahu apa yang ia tulis, meski ia tak tahu bagaimana hal itu berakhir.
Padaku tertulis akhir manusia yang menuliskan hidupnya pada buku-buku catatan manusia-manusia lain selain buku catatannya.
Padaku tertulis akhir manusia yang menulis dengan keringat pada lembar-lembar darah dagingnya.
Meski ia tidak tahu bagaimana itu berakhir,
Ia berharap berlembar-lembar catatan itu menuliskan hal-hal baru yang menghiasi dunia ini dengan keindahan.

Sepotong badanku memang tertulis,
Mungkin tertulis tanpa arti
Tetapi kau yang tertulis padaku bisa hidup beribu-ribu tahun lamanya.

Maukah kamu?

Jaha Nababan,
Ramadhan 1427 H – Ramadhan pertama tanpa Papa.