Monday, July 04, 2005

Disaster Recovery Planning for Schools

After the tsunami that struck Aceh and its surroundings, I put this ideas into writing. This writing is mainly based on my experience as Business System Recovery Planner in Nestle Indonesia.


It is based on the idea that "Disaster is unavoidable, but it is not new",therefore we can predict its impacts and minimize the risk. Though i wrote many issues, I tried to emphasize on adaptive curriculum that adapts its content according to the development of the people in the school's surroundings.

Enjoy Reading,
Jaha

Pemulihan sekolah di daerah bencana

Ketika kutu milenium datang, dunia bisnis telah siaga menyambutnya. Kutu milenium (millennium bug Y2K) diramalkan menjadi bencana bagi dunia terutama karena semua kegiatan di dunia akan terhenti akibat mogoknya komputer-komputer pengendali dunia. Disaster Recovery Planning atau Perencanaan Pemulihan Paska Bencana (P3B) menjadi buah bibir di setiap perusahaan. Pada saat itu banyak P3B dibangun bahkan dengan asumsi yang lebih luas yaitu bencana alam. Dunia bisnis begitu siapnya karena P3B merupakan hajat hidup orang banyak. Namun ketika bencana menimpa sekolah, Departemen Pendidikan Nasional atau pun sekolah tidak memiliki prosedur Perencanaan Pemulihan Paska Bencana.

Bencana dikategorikan sebagai Force Major karena kedatangan dan dampaknya sering tidak dapat diramalkan. Meski kedatangannya belum dapat diramalkan, tetapi dampaknya adalah keterhentian sebuah kegiatan akibat berbagai pranata pendukung kegiatan tersebut yang rusak. Pranata pendukung ini tentunya tidak hanya yang berwujud tetapi juga pranata yang tidak berwujud seperti, dalam konteks sekolah, kesiapan mental murid untuk masuk kembali sekolah.

P3B berperan dalam menjembatani kegiatan yang terhenti dan pranata yang rusak agar dapat berfungsi lagi. Di samping itu P3B juga berperan menjembatani kondisi yang tidak normal dengan kondisi normal. Di sini artinya ukuran-ukuran kondisi normal tidak akan dapat berlaku pada keadaan sekolah paska bencana. Oleh karena itu dalam P3B, perlu sebuah ukuran-ukuran yang mampu menyesuaikan diri pada kondisi sekolah hingga kondisi paska bencana berangsur-angsur normal. Sekedar catatan, pada kondisi bencana yang meluluhlantakkan seluruh pranata sekolah, membangun sekolah kembali kepada kondisi normal merupakan sebuah upaya sia-sia. Akan lebih baik bila sekolah dibangun kembali dengan memperhatikan isyu-isyu gender dan lingkungan yang akan sedikit dijabarkan di bawah ini.

Pada kasus bencana di Aceh dan Nias, banyak bangunan sekolah yang rata dengan tanah dan brain drain atau pengurasan kecendekiaan akibat berkurangnya jumlah guru secara drastis akibat bencana alam. Lebih jauh lagi, anak-anak mengalami trauma akan bencana sehingga banyak anak menjadi tidak siap sekolah tidak hanya karena masalah kesiapan keuangan tetapi juga masalah kesiapan jiwa.

Membangun wujud bangunan sekolah tentunya mudah. Kalangan militer telah menunjukkan kepiawaiannya dalam membangun kembali pranata masyarakat, terutama sekolah. Seorang teman pernah mengacungkan jempol dan berucap bahwa ia akhirnya merasa bangga melihat militer yang sungguh sigap dan tanpa lelah membantu rakyat. Sekolah-sekolah darurat yang baru dibangun ini kurang memperhatikan perihal keadilan gender seperti jumlah kamar kecil untuk murid dan guru perempuan. Sudah seyogyanya jumlah kamar mandi untuk perempuan lebih banyak dari jumlah kamar mandi untuk laki-laki karena, dalam waktu penggunaan kamar mandi, perempuan lebih banyak menghabiskan waktu dari pada rata-rata yang digunakan laki-laki.

Isyu lain yang menarik diterapkan di sekolah paska bencana adalah perihal “Rute Aman ke Sekolah” (Road Safety to School) yang dicanangkan WHO, Organisasi Kesehatan Dunia, pada hari Kesehatan Dunia tanggal 7 April 2004. Menurut data WHO, setiap tahun 180.000 anak di bawah 15 tahun terbunuh dalam kecelakaan di jalanan. Upaya menciptakan lingkungan aman ke sekolah bukanlah masalah transportasi, demikian menurut Dr. Lee Jong-Wook, direktur umum WHO, tetapi merupakan masalah kesehatan masyarakat. Bagi Indonesia, tentunya masalahnya menjadi lebih kompleks karena juga melibatkan masalah kondisi perilaku sosial masyarakat di jalanan. Sering kita lihat bahwa anak-anak menjadi prioritas terbawah bagi supir-supir angkutan karena mereka membayar di bawah tarif umum. Di samping itu, sering pula kita mendengar kasus di mana anak-anak sekolah yang dimintai uang oleh preman dalam perjalanan ke sekolah. Sungguh saat yang tepat untuk membangun sekolah yang lebih baik dengan memperhatikan isyu-isyu baru di dunia saat sekolah luluh lantak oleh bencana. Khususnya pada kasus Aceh, akan sangat memungkin bagi Aceh melakukan salah satu rekomendasi Kampanye “Rute aman ke sekolah”, yaitu mengurangi rute ke sekolah yang terekspos lalu lintas jalan raya.

Mengenai mengisi kekosongan kecendekiaan akibat pengurasan kecendekiaan paska bencana, pemerintah perlu menyiapkan sebuah sistem pendukung relawan di daerah bencana. Pemerintah dapat juga memberi insentif berupa potongan pajak buat pihak swasta yang membiayai guru-guru untuk datang ke daerah bencana, misalnya. Guru-guru yang menjadi relawan perlu diberikan beasiswa untuk bersekolah lebih lanjut paska pelayanannya di daerah bencana tersebut. Dengan demikian pranata sekolah akan berangsur-angsur pulih.

Yang paling penting dalam P3B bagi sekolah adalah membangun kurikulum yang yang adaptif. Seperti diungkapkan di atas, ukuran-ukuran normal tidak dapat diterapkan untuk pada sekolah-sekolah paska bencana. Pencapaian sekolah di daerah bencana bukan pada jumlah murid-murid yang masuk ke sekolah negeri lanjutannya. Ukuran kemajuan sekolah sebagai bagian dari kurikulum yang adaptif harus mampu berubah-ubah berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan keadaan sekeliling paska bencana. Pada tahap awal, kurikulum yang dibangun ditujukan untuk membantu murid-murid mengatasi trauma. Tentunya ukuran kemajuan sekolah adalah jumlah murid yang telah mengatasi trauma-nya. Pada periode berikutnya, kurikulum perlu dikembangkan agar murid dapat menjadi bagian masyarakat yang membantu lingkungannya melewati masa trauma, dan seterusnya hingga keseluruhan sistem berjalan kembali menjadi normal.

Seperti pepatah, “Tidak ada hal baru di bawah matahari ini”, Bencana alam dan P3B tentunya bukan hal yang baru. Sesungguhnya kita hanya perlu sebuah langkah untuk memulai perjalanan kita yang panjang memulihkan sekolah di daerah bencana, dan P3B untuk sekolah adalah langkah itu.

Jaha Nababan, lulusan Boston University School of Education, adalah Fulbright Grantee dan Kelly Scholar yang mengajar di FISIP UI. Pernah mendesain P3B untuk sebuah perusahaan multinasional asing.

1 Comments:

At 10:21 AM, Anonymous fadil said...

assalamualaikum salam kenal pak, wah tulisan yang menarik. saya sedang mencari referensi mengenai k0ndisi pendidikan, wanita, anak2 pasca bencana. tulisan bpk sangat membantu. 0ya mengenai P3B, untuk aceh sendiri sudah sejauh mana pr0gressnya? ini sudah tahun ke 5 pasca bencana. terimakasih.

 

Post a Comment

<< Home